Iman terhadap wujud Allah ditopang oleh fitrah, akal sehat, dalil syari’at dan juga indera. Secara fitrah setiap manusia pasti mengakui bahwa ada yang menciptakan dirinya, hal itu dia yakini tanpa perlu berpikir panjang atau pun belajar ilmu tertentu. Tidak ada yang menyimpang dari keyakinan ini selain orang yang sudah terpengaruh faktor lain yang menyimpangkannya dari fitrah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan pasti dalam keadaan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Adapun secara akal maka sesungguhnya keberadaan makhluk yang ada sejak dahulu hingga sekarang ini semua menunjukkan pasti ada yang menciptakan mereka. Tidak mungkin mereka menciptakan dirinya sendiri, atau terjadi secara tiba-tiba tanpa pencipta. Maka tidak ada kemungkinan selain alam ini pasti diciptakan oleh Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun yang ada sebelumnya ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?” (QS. ath-Thur : 35). Ketika mendengar dibacakannya ayat ini maka Jubair bin Muth’im yang pada saat itu masih kafir mengatakan, “Hampir-hampir saja hatiku terbang, itulah saat pertama kali iman menyentuh dan bersemayam di dalam hatiku.” (HR. Bukhari).
Begitu pula adanya kitab-kitab suci yang semuanya berbicara tentang Allah, ini merupakan dalil syari’at tentang keberadaan/wujud Allah. Sedangkan secara indera adalah kita bisa menyaksikan terkabulnya doa yang dipanjatkan oleh orang. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Nuh. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Nuh, ingatlah ketika dia menyeru (Rabbnya) sebelum itu dan Kami pun mengabulkan doanya.” (QS. al-Anbiya’ : 72). Demikian pula apa yang disaksikan oleh umat para nabi berupa mukjizat nabi yang diutus kepada mereka. Seperti contohnya mukjizat nabi Musa yang membelah lautan dengan tongkatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka Kami wahyukan kepada Musa pukulkanlah dengan tongkatmu ke laut itu, maka ia pun terbelah dan setiap sisinya menjadi setinggi gunung yang tinggi.” (QS. asy-Syu’ara’ : 63).
Iman terhadap Rububiyyah Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 19
Rabb adalah Dzat yang memiliki kuasa menciptakan, mengatur urusan dan memerintah. Kita wajib mengimani bahwa tidak ada pencipta, pengatur dan yang berhak memerintah semua makhluk selain Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Ingatlah sesungguhnya menciptakan dan memerintah adalah hak-Nya.” (QS. al-A’raaf : 54). Allah juga berfirman (yang artinya), “Itulah Allah Rabb kalian. Sang pemilik kerajaan. Sedangkan sesembahan yang kalian seru selain-Nya tidaklah menguasai apapun walaupun hanya setipis kulit ari.” (QS. Fathir : 13). Tidak ada orang yang mengingkari hal ini kecuali dikarenakan kesombongan dan kecongkakan seperti halnya Fir’aun.
Orang-orang musyrik pun sudah mengakui hal ini bahwa tidak ada yang menguasai alam ini dan menciptakan langit dan bumi selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka pasti menjawab; yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. az-Zukhruf : 9). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan mereka, maka pasti mereka akan mengatakan : Allah…” (QS. az-Zukhruf : 87).
Iman terhadap Uluhiyyah Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 21
Artinya kita mengimani bahwa hanya Allah sesembahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa. Tidak ada sesembahan selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah : 163). “Demikian itulah kuasa Allah, Dia adalah sesembahan yang haq sedangkan segala yang diseru selain-Nya adalah sesembahan yang batil.” (QS. al-Hajj : 62). Maka segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil. Oleh sebab itu dakwah yang diserukan oleh para rasul adalah sama yaitu, “Hai kaumku, sembahlah Allah. tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain Dia.” (QS. al-A’raaf : 59).
Iman terhadap Asma wa Sifat Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 23
Yaitu dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan oleh Allah atau rasul-Nya, di dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah sesuai dengan kemuliaan-Nya, tanpa menyimpangkan maknanya, tanpa menolak, dan tanpa menentukan bentuk dan caranya, serta tidak disertai dengan menyerupakannya dengan makhluk. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11).
Dalam mengimani hal ini terdapat dua kelompok besar yang menyimpang yaitu mu’aththilah dan musyabihah. Mu’aththilah menolak nama, sifat ataupun sebagian darinya dengan alasan bahwa apabila kita menetapkan hal itu akan menyebabkan terjadinya penyerupaan Allah dengan makhluk. Hal ini jelas tidak benar karena itu sama saja mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat pertentangan. Padahal Allah sendiri yang menetapkan adanya nama atau sifat tersebut. Dan pertentangan ini sangat mustahil terjadi. Sedangkan kaum musyabbihah menetapkan nama dan sifat akan tetapi menyerupakan hakikatnya dengan nama dan sifat makhluk. Menurut mereka itulah yang dimaksud oleh dalil, padahal Allah sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya. Maka menyerupakan Allah dengan makhluk jelas sebuah kebatilan, karena sama nama belum tentu hakikatnya sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar